Tradisi Sharah dan Hashiyah dalam Fiqih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam

Authors

  • Dainori Dainori

Abstract

Kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira<’ah salafiyyah, qira<’ah ta’wiliyyah, dan  qira<’ah maqash{idiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah ditutup. Dalam kontek menggelorakan ijtiha<d, Ilmu ushul Fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman. Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul fiqih (qawa<id ush{u<liyah) dan metodologi pemahaman fiqih (qawa<id al-Fiqhiyyahi). Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik dengan perangkat metodologinya sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Oleh karenanya, upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy yang telah didefinisikan di atas adalah sebuah keniscayaan. Usaha itu dilakukan dalam rangka  pengembangan pemikiran metodologis menuju –meminjam istilah Qodri Azizi- “ijtihad saintifik modern†dengan metode “manhajiy eklektis†atau “manhajiy plus saintifikâ€, sebagai implementasi al-Muhafad{zoh ‘ala< al-Qadim al-Sh{aleh wa al-Akhd{zu bi al-Jadi>d al-As}lah. Dalam implementasinya, pengawinan dua metodologi tersebut menurut hemat saya harus memenuhi prasyarat utama yaitu menjadikan al-maslahah al-‘ammah (kepatutan umum) sebagai pertimbangan penentu dalam menggali sebuah hukum pada tiga ranah utamanya yaitu dharuriyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan normal), dan tahsiniyat (kebutuhan komplementer). Mengapa, karena menurut Abdul Wahab Khallaf, pada hakikatnya hukum Islam selalu dibangun atas dasar mewujudkan maslahah. Sementara untuk menilai ada atau tidaknya mas{lahah pada suatu perbuatan hukum harus selalu memperhatikan kondisi riil. Pada titik inilah kontekstualisasi teks-teks agama menjadi kebutuhan.

Downloads

Published

2017-10-13

Issue

Section

Articles