Penggunaan Sholawat Wahidiyah Sebagai Mahar Pernikahan (Analisis Kitab Sa’adatuddaraini karya Syaikh Yusuf Ismail An Nabhani)
Abstract
Mahar merupakan hak istri yang diterima dari suaminya, pihak suami memberinya dengan suka rela atas persetujuan kedua belah pihak antara istri dan suami.Pemberian suami dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai tanda kasih sayang dan tanggung jawab suami atas istri untuk kesejahteraan keluarganya.Apabila mahar sudah diberikan suami kepada istrinya, maka mahar tersebut menjadi milik istri secara individual.[1]Penyerahan mahar dilakukan secara tunai, namun apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian, maka mahar boleh ditangguhkan.
Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.[2] Adapun batasan minimal atau maksimal atas kuantitas maupun kualitas mahar pada dasarnya tidak ditentukan dalam syari’at, selama ia adalah sesuatu yang bernilai, banyak atau sedikit. Sesuatu yang bernilai tersebut bisa berupa materi ataupun non- materi seperti mengajarkan al-Qur’an kepada istrinya, membaca shalawat, dan lain sebagainya. Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam metode pengumpulan data ini, penulis menggunakan metode dokumentasi.
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan menilai data yang terkait dengan masalah Shalawat Wahidiyah sebagai mahar pernikahan. Metode ini digunakan untuk memahami kitab Sa’adatuddaroini Karya Syaikh Yusuf Ismail An-Nabhani tentang penggunaan Shalawat Wahidiyah sebagai mahar pernikahan. Penggunaan Shalawat Wahidiyah sebagai mahar pernikahan itu merujuk pada kitab Sa’adatuddaroini karya Syeikh Yusuf Ismail an Nabhani RA, bahwa mahar Nabi Adam dengan Hawa adalah sebuah shalawat. Walaupun dalam kitab tersebut tidak menyebutkan shalawat apa yang di bacakan oleh Nabi Adam sebagai mahar pernikahan dengan Hawa.
Namun, shalawat itu ada 2 macam yaitu shalawat ma’tsurah dan shalawat ghairu ma’tsurah..Sedangkanshalawat Wahidiyah itujuga termasuk shalawat ghairu ma’tsurah yang redaksinya disusun oleh seorang Ulama besar yang bernama Kyai Abdul Madjid Makruf. Kedudukan shalawat Wahidiyah sama seperti shalawat ghairu ma’tsurah lainnya, seperti: shalawat Munjiyat, shalawat Nariyah, shalawat Burdah, shalawat Badariyah, shalawat Masyisyiyah. Sehingga penggunaanya diperbolehkan sebagai mahar pernikahan dan tidak ada yang melarangnya.