Problematika Hukum Pengenaan Pajak Pulsa Dan Kartu Perdana

  • Yovita Purwanto Puteri Megister Kenotariatan Universitas Surabaya

Abstract

Salah satu penghasilan terbesar negara Indonesia ialah dari penerimaan pajak. Berdasarkan laporan APBN 2020 bulan November 2020, penerimaan pajak mencapai Rp. 925,3 triliun. Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN) berada diurutan kedua setelah Pajak Penghasilan(PPh) Non-Migas, yakni Rp. 378,8 triliun. Dilansir dari berita online ‘nasional kontan’, Sri Mulyani (Menteri Keuangan Indonesia 2019-2024) menilai bahwa PPN merupakan salah satu harapan untuk membantu peningkatan pajak di Indonesia. Pada tanggal 22 Januari 2021, Menteri Keuangan mengeluarkan Permenkeu No. 6/PMK.03/2021, yang salah satunya mengatur PPN pajak pulsa dan kartu perdana. Tujuan dari penelitian ini untuk membahas mengenai sejauh mana objek apa yang dapat dikenakan PPN, tanpa mengabaikan kesejahteraan perekonomian masyarakat terutama dalam kondisi Covid-19. Penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan metode yuridis normatif, memberikan pemahaman bahwa PMK No. 6 Tahun 2021 ini masih memiliki celah untuk merugikan konsumen akibat tidak diaturnya sanksi yang tegas apabila tetap dilakukan pemungutan PPN setelah distributor tingkat II sampai konsumen.  Pengenaan PPN pulsa dan kartu perdana yang memberatkan masyarakat ini didukung dengan kritikan dari Ekonom Idef Bhima Yudhistira dilansir dari berita online ‘Okezone’, PPN ini akan menghambat proses transformasi digital, sehingga pemerintah disarankan untuk meninjau ulang serta menyempurnakan kembali mengenai aturan pengenaan PPN pulsa dan kartu perdana yang telah berlaku dimasyarakat saat ini. Kata kunci : Pajak, PPN Pulsa dan Kartu Perdana, Pemungutan Pajak.
Published
2021-04-15
How to Cite
Puteri, Y. P. (2021). Problematika Hukum Pengenaan Pajak Pulsa Dan Kartu Perdana. Al Qodiri : Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Keagamaan, 19(1), 170-186. Retrieved from https://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/qodiri/article/view/4245
Section
Articles